Asahan, Sumatera Utara — Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Swadaya Masyarakat Taat Wong Nusantara (LSM TAWON) secara resmi meminta pemerintah untuk tidak memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP) di wilayah Desa Padang Sari, Kecamatan Tinggi Raja, Kabupaten Asahan. Permintaan ini disampaikan menyusul hasil investigasi lembaga tersebut bersama masyarakat lokal dan ahli waris atas nama alm. Barita Radja dan alm. Taing Matoelang, yang menyimpulkan adanya indikasi pelanggaran historis dan hukum terkait penguasaan lahan oleh pihak perusahaan.
Sekretaris Jenderal DPP LSM TAWON, Ramses Sihombing, menyampaikan bahwa lahan seluas sekitar 300 hektare yang saat ini dikuasai oleh PT BSP memiliki sejarah panjang sebagai tanah milik masyarakat adat. “Permintaan agar HGU tidak diperpanjang didasarkan pada bukti sejarah dan putusan kelembagaan adat kolonial yang mengakui kepemilikan rakyat atas lahan tersebut. Negara tidak boleh menutup mata terhadap fakta ini,” ujarnya dalam keterangan pers.
Menurut Ramses, akar persoalan ini dapat ditelusuri sejak tahun 1934, saat perusahaan Kwala Piasa Estate—cikal bakal secara tertulis mengakui telah merusak tanaman masyarakat di atas lahan adat. Pernyataan tersebut kemudian diperkuat oleh keputusan Kerapatan Kecil Kisaran dan Kerapatan Besar Tanjung Balai yang menetapkan bahwa lahan tersebut adalah milik sah masyarakat Desa Padang Sari.
Meski demikian, hingga kini tidak pernah dilakukan ganti rugi maupun pengembalian hak atas lahan yang dirampas tersebut. PT BSP kembali menguasai wilayah tersebut tanpa proses penyelesaian dengan warga. Perusahaan kemudian mengurus HGU tanpa melibatkan pemilik hak yang telah diakui secara historis dan sosial.
LSM TAWON juga mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi terakhir, masa berlaku HGU PT BSP di wilayah itu telah berakhir. Dengan demikian, status lahan kini menjadi Tanah Negara dan seharusnya dapat diprioritaskan untuk keperluan reforma agraria, bukan justru diperpanjang untuk kepentingan korporasi besar.
“Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin keadilan agraria. Kami mendorong redistribusi lahan ini kepada masyarakat melalui program reforma agraria, atau pengakuan hak adat, waris, dan ulayat yang sah secara historis dan sosial,” tegas Ramses.
Salah satu warga yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa sejarah kepemilikan lahan oleh leluhur mereka telah diwariskan secara turun-temurun. “Memang dari dulu itu tanah oppung kami. Cerita itu diturunkan dari generasi ke generasi. Semua orang kampung tahu sejarah tanah ini,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kantor Wilayah ATR/BPN Sumatera Utara belum dapat dihubungi terkait permintaan penolakan perpanjangan HGU tersebut. LSM TAWON berharap agar pemerintah pusat maupun daerah segera mengambil langkah tegas dan berpihak pada rakyat.